Kompas melaporkan (27/11) bahwa sebagian besar dosen dalam melakukan penelitiannya hanya mengejar kenaikan pangkat saja. Benarkah begitu? Tulisan ini hendak memotret fenomena tersebut dan berangkat dari amatan dan pengalaman pribadi penulis sebagai dosen yang masih hijau belia dan ranum serta wangi. Secara administratif, penelitian adalah salah satu tugas utama dosen yang tertuang dalam tridharma perguruan tinggi: pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Dengan demikian bukan dosen namanya, atau belum khatam jadi dosen jika belum pernah melakukan penelitian.

Perbedaan utama dosen dengan pengajar lain (katakanlah guru sekolah atau kursus), adalah kewajiban untuk meneliti. Begitu juga jika hendak naik jabatan fungsional, ke tingkat apapun, harus membuktikan bahwa pernah melakukan penelitian, baik dalam bentuk laporan penelitian yang tersimpan di perpustakaan, buku, prosiding dan sertifikat seminar ataupun jurnal ilmiah. Namun apakah betul penelitian bagi dosen hanya sarana naik pangkat? Saya mencoba mencari beberapa alasan kenapa dosen melakukan penelitian.

Pertama, untuk keperluan naik pangkat. Jelas motivasi ini kuat sekali dan sudah cukup saya jelaskan diatas. Sebetulnya syarat ini amat positif dan fair. Artinya semakin produktif seorang dosen meneliti, berseminar, menulis buku atau menulis di jurnal ilmiah, maka semakin cepat karirnya. Maka di beberapa kampus kita menemukan fenomena dosen-dosen muda yang cepat menjadi Professor. Namun celakanya, banyak dosen (setidaknya yang saya temukan) menghalalkan segala cara untuk mendapatkan “bukti” telah melakukan penelitian. Modusnya macam-macam: plagiarisme, menyuruh atau membayar orang untuk menulis di jurnal, nebeng nama sebagai ketua penelitian padahal tidak ikut meneliti, dan berbagai macam modus lain yang semakin canggih dan berkembang. Saya tak mau menghakimi siapapun, tapi silahkan cari di mbah google, maka akan kita temukan berbagai fenomena tersebut. Maka kadang-kadang ada dosen yang naik pangkatnya cepat sekali, tapi tak pernah terlihat terlibat dalam penelitian. Ada pula dosen yang karena jabatannya dan juga karena ditakuti menjadi ketua di berbagai penelitian, tapi sama sekali tak bekerja dan tak mengerti isi penelitian.

Kedua, cari uang. Ya, dengan penghasilan yang kecil (silahkan baca perbandingan dengan negara jiran, malaysia di http://abah.abdul-hamid.com/2008/09/catatan-perjalanan-dari-kyoto-1_14.html), maka penelitian menjadi sumber pendapatan yang menggiurkan. Penelitian biasanya terbagi dua, penelitian dari dalam kampus (termasuk dana dikti) dan penelitian dari pihak luar (donor, pemda, pemerintah pusat, swasta). Penelitian dari dalam nilainya bervariasi, mulai dari lima juta (dosen muda, dll) sampai ratusan juta (strategis nasional, hibah bersaing, dll).

Mendapatkan penelitian adalah sumber pendapatan yang signifikan. Di malaysia atau Jepang (penulis hanya paham dua negara tersebut) setiap peneliti memiliki pagu sendiri Malaysia seorang dosen bisa mengelola beberapa penelitian mandiri dengan nilai mulai minimal 45 juta rupiah sampai 150 juta yang jika ditotal bisa sampai setengah miliar per-peneliti per-orang. Begitu juga di Jepang, seorang dosen yang baru masuk mendapat pagu sekitar lima ratus juta rupiah pertahun, per-orang. Di Indonesia, setiap dosen harus bersaing dengan sesama dosen untuk mendapat dana penelitian.

Ada perbaikan memang, dimana pemerintah menggelontorkan dana semakin besar setiap tahunnya. Namun karena demand jauh lebih besar daripada supply, maka lembaga penelitian di berbagai kampus menjadi “bandar” penelitian. Merasa posisinya jauh lebih kuat daripada dosen, lembaga penelitian kampus seringkali membangun tawar-menawar dengan dosen. Sebagai contoh, dosen X bisa dijamin mendapatkan grant penelitian, asalkan “bersepakat” untuk dipotong tiga puluh lima persen (35%) dari total dana penelitian yang didapatnya. Jadi jika mendapat 100 juta, sudah disepakati dana yang akan dipakai penelitian (itupun sebagian untuk honor peneliti) hanya 65 juta rupiah saja. Sisanya? Masuk ke kantong oknum-oknum di lembaga penelitian. Jika menolak dipotong, jangan harap bisa mendapat dana penelitian, sebagus apapun proposal yang dibuat. Proses seleksi bisa diatur, nilai bisa dikatrol naik dan turun.

Fenomena ini penulis temukan di beberapa kampus. Bahkan di sebuah kampus, dana penelitian kajian wanita yang hanya 5 juta rupiah harus dipotong 2 juta rupiah.

Bagaimana dengan penelitian dari luar? Cerita yang masuk tak kalah mengelisahkan. Kampus acapkali menjadi “penyedia legitimasi” akademis untuk pihak-pihak luar, baik swasta maupun pemerintah. Pemekaran daerah misalnya, sungguh menyedihkan jika daerah-daerah hasil pemekaran banyak yang dievaluasi gagal, padahal untuk pendirian daerah otonom baru dibutuhkan sebuah kajian akademis yang notabene dilakukan kampus. Proses yang terjadi dalam proyek-proyek penelitian juga sungguh menyedihkan, setor sana-sini untuk mendapatkan proyek penelitian dari pemerintah daerah sudah sering penulis dengar. Sebagai contoh, sebuah proyek riset X bernilai 75 juta rupiah, dipotong 25 juta rupiah oleh oknum pemda, dipotong lagi 30 juta rupiah oleh oknum lembaga penelitian dan sisanya, 20 juta rupiah saja untuk penelitiannya.

Tentu saja tak semua berperilaku seperti diatas. Ada juga penelitian yang berlangsung “normal” dari mulai proses seleksi, proses penelitiannya, laporannya dan juga keuangannya. Masih banyak juga kampus dan lembaga penelitian kampus yang berperilaku terhormat.

Ketiga. Alasan lain melakukan penelitian adalah bisa jalan-jalan. Lho jalan-jalan? Ya iya lah, masak ya iya dong. Mana bisa dosen jalan-jalan dengan gaji-nya yang kecil, bisa bertahan sampai akhir bulan saja sudah syukur. Melakukan penelitian adalah kesempatan emas untuk jalan-jalan. Menyelam sambil minum air gitu loh. Jangan heran jika membaca status facebook seorang kawan dosen, bisa berpindah cepat (Dissaparate !!! seperti kata Harry Potter) dari satu kota ke kota lain dalam hitungan hari atau minggu. Hari senin di Manokwari, minggu depan di Jogjakarta, dua minggu lagi di Nusakambangan. Begitu juga dengan seminar hasil penelitian, kesempatan emas untuk pergi ke kampus di daerah lain atau bahkan ke luar negeri. Sebagai pengalaman pribadi penelitian mengantarkan penulis ke Bengkulu, Padang, Raja Ampat, Sorong, Malang, Selangor, Kyoto dan tempat-tempat yang lain. Jika bukan penelitian dan presentasi hasil penelitian, mana bisa jalan-jalan, iya kan???

(interupsi dulu ah: trus ada yang komentar, anda mengeluh aja: take it or leave it; he he, maka terjadilah fenomena brain drain di kalangan akademisi kita. Di milist bursa beasiswa sedang seru dibahas soal fenomena ini, dosen indonesia kuliah di luar, ditawari ngajar di tempat kuliahnya, baiknya diambil tidak? Maka jangan sembarangan ngomong take it or leave it )

Keempat, mengembangkan ilmu. Ya, tentu saja kembali ke hakikatnya, menjawab pertanyaan dan mengambangkan ilmu pengetahuan, rasanya dimensi ini juga masih melekat di banyak dosen di Indonesia. Ini yang juga membanggakan, di tengah keterbatasan dana – seringkali dari kocek sendiri – banyak dosen di Indonesia membuat temuan mengejutkan bereputasi Internasional. Contohnya, silahkan tanyakan ke Om Google saja

Kelima, membangun jejaring. Jejaring kolegial sesama dosen, terutama sebidang ilmu tentu saja amat penting. Kolaborasi penelitian atau membentangkan hasil riset di kampus lain, atau negara lain hal yang harus dilakukan. Kita bisa mengupdate ilmu yang kita miliki serta menguji dan membandingkan hasil penelitian, termasuk menerima masukan dan kritik terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Jika riset dilakukan di kota sendiri, dipresentasikan di kampus sendiri, diberi masukan hanya oleh kolega se-jurusan, alangkah sempitnya dunia ini, seperti katak dalam tempurung.

Bagi penulis, tidak menyakitkan ketika “dibantai” di forum ilmiah dalam kesempatan berseminar dengan kolega (terutama) di mancanegara. Justru itulah saat-saat menyenangkan, menemukan kolega yang pintar-pintar. Yang menyakitkan adalah ketika makan siang dan mulai membicarakan anggaran penelitian dan gaji dosen, sakit hati ker.

Jadi, terlalu gegabah jika Kompas menyatakan bahwa penelitian hanya untuk naik pangkat. Tidak, penelitian itu untuk naik pangkat, cari uang, jalan-jalan gratis (baca: dibayari), mengembangkan ilmu dan membangun jejaring.  Dan harap dipahami, penyebutan alasan tak menggambarkan tingkat urgensi alasan. Jika menemukan alasan lain, monggo ditambahkan.

Salam. Malang, 28/11/2010

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.